DPR Harus Ubah Aturan Parliamentary Threshold Pemilu 2029

banner 468x60

Oleh: Said Salahudin *)

Jakarta, Vanusnews.com – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 131/PUU-XXIII/2025 mengenai aturan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) sama sekali tidak menolak permohonan Partai Buruh. Dalam putusan yang dibacakan kemarin (16/10/2025), MK hanya menyatakan permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh belum saatnya diajukan alias prematur.

Read More
banner 300x250

MK beralasan, perintah Mahkamah agar pembentuk undang-undang segera mengubah norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen sebelum Pemilu 2029, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, masih belum dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah. Atas alasan itulah permohonan Partai Buruh belum dapat dinilai oleh Mahkamah.

Sebagai pemohon dalam perkara 131/PUU-XXIII/2025, Partai Buruh tetap menghormati putusan tersebut. Kami akan tetap berdiri bersama MK, sekalipun permohonan kami kali ini belum dapat dikabulkan oleh Mahkamah. Tagar #WeStandWithMK masih terus kami suarakan.

Namun demikian, Partai Buruh mendorong agar DPR mempercepat proses pembahasan revisi UU Pemilu. Sebab, dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, dan dinyatakan kembali dalam Putusan Nomor 131/PUU-XXIII/2025, MK secara eksplisit menyebutkan kata “segera” didalam perintahnya kepada DPR untuk merevisi UU Pemilu.

Faktanya, sampai hari ini atau 1,8 tahun pasca-Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, masih belum ada titik terang dari DPR mengenai konsep redesain sistem Pemilu 2029, khususnya mengenai aturan baru Parliamentary Threshold.

Partai Buruh tetap konsisten pada pendiriannya agar aturan PT dihapuskan. Apabila aturan PT tetap diberlakukan, maka PT harus berbasis pada perolehan suara sah di daerah pemilihan, bukan berbasis pada perolehan suara sah nasional. Itu aturan yang lebih adil agar puluhan juta suara pemilih tidak selalu terbuang percuma pada setiap penyelenggaraan Pemilu.

Akibat pemberlakuan PT, pada Pemilu 2019 terdapat lebih dari 51,1 juta (40,83%) suara pemilih tidak terkonversi menjadi kursi. Di Pemilu 2024 jumlahnya lebih dari 60,6juta (39,98%). Khusus suara terbuang dari parpol nonparlemen di Pemilu 2024 jumlahnya lebih dari 17,3 juta (11,40%).

Mengapa PT harus dihitung berdasarkan suara sah di dapil, dan bukan dihitung berdasarkan perolehan suara sah nasional? Sebab hal itu sudah dinyatakan berkali-kali dalam sejumlah putusan MK yang pada pokoknya menyatakan bahwa konversi kursi harus berbasis pada perolehan suara di daerah pemilihan. Substansi tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 19/PUU-XVII/2019, Putusan 20/PUU-XVII/2019, dan Putusan Nomor 28/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Partai Buruh.

Pada ketiga putusan tersebut, MK menyatakan, proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pelaksanaan pemilu berbasis daerah pemilihan. Kanalisasi tersebut tidak saja bermakna proses pemilihan dilakukan berbasis daerah pemilihan, melainkan juga dimaksudkan daerah pemilihan merupakan wilayah representatif sehingga wakil rakyat terpilih bertanggung jawab kepada konstituen di daerah pemilihan di mana mereka terpilih.

Artinya, suara rakyat yang dikonversi menjadi kursi anggota lembaga perwakilan (baik DPR, DPD, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) berkonsekuensi terhadap munculnya model pertanggungjawaban anggota lembaga perwakilan rakyat berbasis daerah pemilihan.

*) Penulis adalah Wakil Presiden Partai Buruh

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *