Tolak Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Merusak Sejarah Indonesia

banner 468x60

Jakarta, VanusNews.com | Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto dinilai tidak sekadar soal layak atau tidak layak.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti langkah tersebut berimplikasi serius terhadap sejarah, hukum tata negara, dan fondasi demokrasi di Indonesia.

Read More
banner 300x250

“Pemberian gelar ini bukan hanya perkara pantas atau tidak pantas. Ini soal bagaimana kita memahami sejarah dan arah demokrasi Indonesia ke depan,” ujar Bivitri kepada para wartawan, Jumat (31/10/2025)

Menurut Bivitri, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dapat mengaburkan landasan historis reformasi yang melahirkan berbagai perubahan institusional, termasuk pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimasukkannya pasal-pasal hak asasi manusia (HAM) ke dalam UUD 1945.

“Kalau Soeharto dianggap pahlawan, seolah-olah kita kehilangan dasar sejarah atas lahirnya lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi itu. Reformasi bisa kehilangan maknanya,” kata Bivitri.

Bivitri juga menyoroti, penyandingan nama Soeharto dengan tokoh-tokoh lain dalam daftar usulan, seperti Marsinah, terkesan sebagai upaya untuk mengaburkan fakta sejarah.

“Seolah pemberian gelar ini prosedural biasa. Kalau Soeharto diusulkan sendirian, mungkin masyarakat lebih mudah menolak. Tapi kalau bersama tokoh lain, kita jadi ragu dan sungkan, apalagi harus berhadapan dengan keluarga para calon penerima gelar,” tutur Bivitri.

Menanggapi kemungkinan motif di balik usulan tersebut, Bivitri menduga ada pandangan politik yang ingin mengembalikan tatanan seperti masa Orde Baru.

“Ini bukan sekadar relasi personal. Ada cara pandang, masa Orde Baru adalah masa terbaik Indonesia, dan itu berbahaya. Sekarang saja sudah muncul narasi ‘kembali ke UUD 1945’, dan saya lihat banyak poster-poster semacam itu di media sosial,” ujar Bivitri.

Lebih jauh, Bivitri mengingatkan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa berdampak pada legitimasi perubahan konstitusi pascareformasi.

“Kita bisa kehilangan dasar sejarah yang menunjukkan bahwa amandemen UUD 1945 itu perlu, karena kekuasaan Soeharto dulu terlalu besar. Dulu tidak ada Pasal 7 yang membatasi masa jabatan presiden dua periode, tidak ada MK. Saya khawatir langkah ini menjadi pembenaran untuk mengubah kembali konstitusi,” jelas Bivitri.

“Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, nanti bisa saja muncul argumen, ‘Soeharto saja dipilih tujuh kali, kenapa tidak boleh lagi?’ Itu yang berbahaya bagi masa depan demokrasi kita,” tutup Bivitri Susanti. LN-DAN

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *