Oleh: Muhamad Isnur | Ketua Umum PB YLBHI
Usulan gelar pahlawan terhadap mantan Presiden Soeharto merupakan kebijakan yang buta sejarah dan membangkang aturan. Selama berkuasa 32 tahun, Soeharto menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan basah dengan jejak pelanggaran HAM berat.
Bermula dari pembunuhan dan kekerasan massal 1965, di antaranya korbannya adalah Nani Nurani yang dipenjara tanpa proses hukum selama 7 (tujuh) tahun. Kemudian berlanjut dengan rentetan pelanggaran HAM berat lainnya, diantaranya: Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989.
Berdasarkan Laporan Keadaan HAM di Indonesia 1989 menyebut peristiwa tersebut menewaskan 31 (tigapuluh satu) orang dan beberapa orang lainnya dipenjara karena dituduh subversif; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 yang menyeret aktivis pro-demokrasi hingga 13 (tiga belas) orang masih dinyatakan hilang; Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1989-1998 yang mana di pertengahan 2023 pemerintah malah menghancurkan saksi bisu Rumoh Geudong yang dianggap sebagai tempat penyiksaan oleh militer selama konflik bersenjata di Aceh.
Kerusuhan Mei 1998, berdasarkan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan. Tragisnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyangkal terjadinya perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 dan pelanggaran lainnya.
Di samping itu jejak korupsi Soeharto tergambar melalui TAP MPR XI/MPR/1998, tertanggal 13 November 1998, Soeharto dituding sebagai pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Meski demikian, upaya membongkar kejahatan pidana korupsi Soeharto berujung kegagalan.
Kasus terhenti dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006 oleh Jaksa Agung saat itu Abdul Rahman Saleh karena alasan kesehatan. Kemudian mekanisme gugatan perdata ditempuh Pemerintah Indonesia untuk menyeret Soeharto sebagai Tergugat atas kerugian negara yang nilainya miliaran rupiah.
Namun, meski dalam gugatan perdata berhasil menuntut tanggungjawab hukum yayasan Supersemar untuk mengembalikan kerugian negara, Soeharto, mantan Presiden secara pribadi tidak tersentuh hukum sehingga tidak perlu mengembalikan kerugian negara sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 140 PK/PDT/2015.
Praktik hukum “untouchable” kepada Soeharto menunjukan, kroni-kroni Soeharto masih kokoh bercokol di kekuasaan meski tuntutan reformasi untuk mengadili Soeharto dan kroninya kencang disuarakan. Kini, Presiden Prabowo yang terpilih di iklim reformasi seharusnya tampil sebagai negarawan untuk meneguhkan supremasi hukum dengan menuntut pertanggungjawaban hukum Soeharto dan kroninya ke pengadilan sebagai mandat reformasi 1998, bukan malah memberi karpet merah terhadap mantan Presiden Soeharto menjadi Pahlawan.
Padahal sejarah dan regulasi yang memandatkan negara menyeret Soeharto dan kroni-kroninya untuk dimintai pertanggungjawaban hukum sudah sangat jelas dan tidak berubah hingga kini melalui TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sehingga usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kontradiksi dengan mandat reformasi 1998 untuk segera mengadili Soeharto dan Pemberantasan KKN. Dalam arti lain, Presiden Prabowo mengkhianati mandat reformasi 1998.
Pada sisi lain, prosedur pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional dari level daerah hingga nasional tidak transparan dan tidak akuntabel, sehingga objektivitasnya diragukan. Usulan gelar pahlawan nasional merupakan keputusan politik Presiden yang rentan disalahgunakan dengan berbagai dalih seperti narasi rekonsiliasi.
Di titik ini menempatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan hanya mengkhianati cita cita reformasi dan rasa keadilan dimasyarakat tetapi juga bentuk manipulasi sejarah dan hukum secara destruktif. Sementara korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di era Presiden Soeharto hingga saat ini masih berjibaku dengan keadilan yang tampak masih jauh, tetapi Soeharto tinggal menghitung hari ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Keputusan politik Prabowo seperti ini bukan saja merendahkan makna rekonsiliasi tapi mengikis hak asasi manusia dan negara hukum sekaligus mengamputasi demokrasi. Negara hukum yang menjamin perlindungan hak asasi manusia seharusnya memastikan hak atas keadilan bagi korban rezim Soeharto dipenuhi bukan dibiarkan tanpa kejelasan.
Untuk itu, seharusnya Presiden Prabowo menjamin pemenuhan korban pelanggaran HAM berat masa lalu berupa keadilan dengan menyeret pelaku ke pengadilan. Membiarkan korban tanpa keadilan justru menunjukkan, pemerintah menjadi bagian dari pelaku pelanggaran.
Padahal beberapa tragedi kemanusian di atas sudah diakui di era Presiden Jokowi namun janji penuntasan kasus secara komprehensif masih jauh dari kenyataan. Penyelesaian melalui non-yudisial pun kenyataannya masih semu.
Bahkan, berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah selesai masih mandek di tangan Jaksa Agung sebagai penyidik sesuai mandat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Situasi ini menunjukan jaminan pemulihan korban atas kebenaran dan keadilan masih ilusi.
Berdasarkan uraian di atas, YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Presiden Prabowo segera menolak dan menghentikan proses pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional;
2. Partai Politik, DPR RI maupun MPR RI untuk menolak usulan Soeharto pahlawan nasional;
3. Presiden dan DPR RI memerintahkan Aparat Penegak Hukum untuk segera melanjutkan proses penegakan hukum dengan menyeret keluarga Soeharto dan kroninya yang terlibat kasus KKN maupun Pelanggaran HAM ke pengadilan;
4. Presiden Prabowo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera melanjutkan proses penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ke tahap penyidikan pelanggaran HAM Berat;
5. Presiden Prabowo dan DPR RI untuk berhenti menerbitkan kebijakan yang mengkhianati mandat reformasi, membahayakan demokrasi, HAM dan negara hukum;
6. Masyarakat Indonesia untuk tidak berhenti bersuara menolak pemberian gelar Pahlawan untuk Soeharto ataupun tokoh yang tidak pantas dan layak menerimanya.







